4 Hakim Sepakat Sebut UU TNI Tak Ada Keterbukaan Publik Meski MK Putuskan Tolak Lakukan Uji Formil

0
4

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk melakukan uji formil terhadap Undang Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Keputusan tersebut dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada Rabu, 17 September 2025 di Gedung MK.

Hakim MK, Guntur Hamzah membacakan hasil putusan yang menyatakan bahwa proses pembentukan UU TNI tersebut tak melanggar maupun bertentangan dengan UUD 194.

Sehingga menurut putusan MK, UU TNI tersebut sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Hasil putusan MK ini tak serta-merta disetujui oleh seluruh hakim, karena nyatanya ada 4 hakim yang menilai bahwa UU TNI cacat formil dan harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu 2 tahun.

Keempat hakim yang mendukung adanya uji formil sehingga menimbulkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Arsul Sani, dan Enny Nurbaningsih. Namun, suaranya kalah telak karena 5 hakim lainnya setuju dengan keputusan MK, yakni Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, Daniel Yusmic P Foekh, Anwar Usman, dan Arief Hidayat.

Alasan Pengajuan Uji Formil UU TNI

Sejak masih pembahasan oleh DPR pada Maret 2025 lalu, UU TNI sudah menarik perhatian hingga membuat gelombang aksi di beberapa daerah.

Salah satu kekhawatiran yang muncul kala itu adalah TNI akan ikut dalam permasalahan sipil, sehingga masyarakat menuntut untuk institusi tersebut fokus pada pertahanan negara.

Sementara alasan melakukan uji formil UU TNI yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil, di antaranya adalah revisi UU TNI sebelumnya tidak masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025, pembahasan yang tertutup sehingga tidak ada partisipasi dari publik, hingga tak ada akses dokumen revisi yang dibuka kepada publik, baik itu dari pemerintah maupun DPR.

Alasan 4 Hakim MK Dissenting Opinion

Suhartoyo

Suhartoyo menilai bahwa masyarakat umum memiliki hak untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan ketika perundangan-undangan tengah dibuat oleh pemerintah.

Hal yang mendasar adalah akses publik yang mudah dan bisa digunakan sebagai sarana masyarakat untuk memberi masukan.

“Permohonan para pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” kata Suhartoyo saat sidang.

Ia kemudian menegaskan bahwa harus ada perbaikan yang dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun.

“Sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan perkara ini diucapkan dengan dipenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna dalam tahap perbaikan pembentukan Undang Undang,” imbuhnya.

Saldi Isra

Saldi Isra menyoroti tentang revisi UU TNI yang tidak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 sampai DPR membuat perubahan dan memasukkannya ke dalam daftar.

Ia juga mengatakan bahwa DPR tak membuat revisi UU TNI sebagai Undang Undang carry over atau operan, padahal jika pembahasannya harus melewati masa transisi namun ingin segera diselesaikan, seharusnya masuk ke dalam daftar Undang Undang operan tersebut.

Arsul Sani

Senada dengan Saldi Isra, Arsul Sani menyinggung tentang pembahasan revisi UU TNI yang masuk ke dalam Prolegnas 2024-2029, tetapi tidak ada dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.

UU TNI kemudian masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 setelah DPR melakukan rapat pada Februari 2025.

Arsul juga turut menyentil sulitnya publik untuk mengakses draft dan informasi mengenai pembahasan revisi UU TNI saat itu.

Oleh karena itu, menurut Arsul menjadi penghambat masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses revisi UU TNI.

UU TNI, menurut Arsul perlu ada perbaikan dalam proses legislasi dalam kurun waktu 2 tahun.

Enny Nurbaningsih

Enny juga menyatakan perlunya perbaikan pada UU TNI selama 2 tahun karena beberapa prosesnya tak sesuai prosedur legislasi.

Ia pun tak lepas menyoroti masyarakat yang kesulitan akses untuk memantau jalannya proses revisi UU TNI oleh legislator.

Ditambah lagi, menurutnya pembahasan pada tingkat I dilakukan dalam waktu yang cepat, makin membuat publik tak memiliki kesempatan ikut berpartisipasi.