Hukuman eks Jaksa Pinangki Disunat. PT DKI Jakarta : “Dia Wanita”

0
116

Keputusan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk  menyunat vonis eks jaksa Pinangki  Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara dengan alasan Pinangki seorang wanita menuai banyak kritikan dari publik dan dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat.

Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat, Yan Harahap juga terheran dengan pertimbangan hakim yang menyunat hukuman Pinangki karena jenis kelamin. Yan menilai seharusnya penegak hukum, dalam hal ini Jaksa Pinangki, mendapatkan hukuman lebih berat jika melanggar hukum.

“Penegak hukum yang melanggar hukum justru harusnya hukumannya lebih berat, bukan malah disunat,” ujarnya, dikutip dari cuitan di akun Twitter pribadinya @YanHarahap. Ia dibuat bingung lantaran hukum saat ini seolah dibedakan berdasarkan jenis kelamin terdakwa.

“Apakah hukum sekarang dibedakan dari jenis kelamin seseorang?” tuturnya menambahkan.

Menanggapi keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung mengajukan kasasi atas potongan hukuman 4 tahun terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari di tingkat banding. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menilai potongan itu mencederai rasa keadilan masyarakat. “Saya mendesak Kejaksaan Agung untuk mengajukan kasasi,” kata dia, Selasa, 15 Juni 2021.

Boyamin menilai vonis 10 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama sebenarnya sudah mencukupi. Dia membandingkan vonis Pinangki itu dengan putusan untuk mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Urip divonis 20 tahun penjara karena terlibat dalam korupsi penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Ia menilai hakim seharusnya juga mempertimbangkan faktor pemberat perbuatan Pinangki.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, terdakwa kasus suap terkait pelarian Djoko Tjandra itu mestinya dituntut hukuman maksimal. Ada lima hal yang membuat Pinangki seharusnya dihukum berat.

Pertama, Pinangki seharusnya membantu Kejaksaan Agung untuk menangkap Djoko Tjandra yang sedang buron, bukannya malah bersekongkol dengan Djoko. Kedua, uang yang diterima oleh Pinangki direncanakan untuk mempengaruhi proses hukum terhadap Djoko Tjandra dengan mengurus fatwa di Mahkamah Agung agar Djoko tidak dieksekusi.

Ketiga, tindakan Pinangki telah mencoreng citra Kejaksaan Agung di mata publik. Keempat, perbuatan Pinangki adalah kombinasi tiga kejahatan yakni suap, pemufakatan jahat, dan pencucian uang. “Logika hukumnya, ketika ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang semestinya ada pemberatan, namun penuntut umum sepertinya tidak mempertimbangkan hal itu,” ujar Kurnia.

Kelima, kata Kurnia, keterangan Pinangki selama persidangan justru bertolak belakang dengan fakta yang diyakini oleh penuntut umum.

Pinangki dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung. Dalam lampiran amar putusan PT DKI Jakarta, setidaknya ada beberapa pertimbangan hakim mengurangi vonis Pinangki. Pertama adalah lantaran Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.

“Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan. Lalu, bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil,” demikian isi kutipan putusan resmi.

Atas alasan itu lah, PT DKI Jakarta mengurangi masa hukuman Pinangki yakni menjadi pidana penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Dalam perkara ini  Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu terbukti menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Selain itu, ia dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp 5.253.905.036,00. Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra.