Di negeri ini, rakyat diminta berhemat, sementara wakil rakyat justru minta tambah. Ketika pemerintah menaikkan pajak dan mengurangi subsidi, anggota DPR malah memperjuangkan kenaikan gaji. Ironi macam apa ini?
Sudah menjadi rahasia umum, gaji dan tunjangan DPR jauh melampaui rata-rata pendapatan rakyat. Dengan berbagai fasilitas negara yang melekat—mobil dinas, rumah dinas, tiket perjalanan, hingga jaminan kesehatan—anggota DPR sudah hidup lebih dari cukup. Sementara jutaan rakyat masih antri minyak goreng, pusing bayar sekolah anak, hingga menunggak listrik.
Pertanyaan mendasar: untuk siapa mereka bekerja? Kalau rakyat yang mereka wakili masih hidup susah, sementara mereka menuntut kesejahteraan lebih, maka jelas DPR bukan lagi “wakil rakyat,” melainkan “beban rakyat.”
DPR sering berdalih bahwa kenaikan gaji dibutuhkan demi meningkatkan kinerja. Mari kita buka data: berapa banyak undang-undang yang benar-benar lahir dari inisiatif DPR? Berapa banyak rapat yang kosong kursinya karena anggota absen? Berapa banyak kasus korupsi yang justru menyeret para wakil rakyat?
Dengan catatan kinerja yang keropos seperti itu, berbicara soal kenaikan gaji hanya menambah luka rakyat. Ini bukan lagi sekadar ketidakpekaan, tapi arogansi politik.
Kenaikan pajak yang ditanggung masyarakat selalu dijual dengan alasan mulia: pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan. Tapi pada kenyataannya, pajak itu juga mengalir untuk membiayai gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat publik. Artinya, rakyat yang pontang-panting membayar pajak, justru membiayai gaya hidup elit politik.
Jika DPR benar-benar serius ingin dihormati, seharusnya mereka menjadi garda depan dalam menolak kenaikan gaji, dan justru berjuang agar beban pajak rakyat tidak semakin berat. Sayangnya, yang terjadi sebaliknya: rakyat diperas, elit dipelihara.
Kenaikan gaji DPR di tengah kenaikan pajak rakyat adalah bentuk penghianatan terhadap prinsip keadilan sosial. Ia hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan wakilnya, dan mempertegas citra DPR sebagai lembaga yang hanya peduli pada dirinya sendiri.
Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat akan benar-benar runtuh. Dan ketika rakyat sudah tidak percaya lagi, kursi empuk di Senayan hanyalah simbol kosong yang kehilangan legitimasi moral.

Oleh : Hendrik Aryanto, SH,MH
Direktur Eksekutive Integritas Studies Centre












































