Akibat Pembatasan Sosial Berlanjut, Kondisi Hotel dan Restoran di Ibu Kota Makin Sulit

0
18
Pembatasan aktivitas masyarakat di DKI Jakarta menekan tingkat keterisian (okupansi) hotel.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta mengungkapkan kondisi hotel dan restoran di ibu kota makin berdarah akibat pembatasan sosial yang terus berlanjut.

Ketua BPD PHRI Sutrisno Iwantono mengatakan pembatasan aktivitas masyarakat di DKI Jakarta menekan tingkat keterisian (okupansi) hotel. Seperti diketahui, pemerintah provinsi DKI Jakarta melanjutkan pembatasan kegiatan masyarakat ( PPKM) di Jawa-Bali mulai 11 Januari hingga 25 Januari 2021.

Dalam 5 tahun terakhir, okupansi hotel sudah berkurang dari sekitar 70 persen menjadi sekitar 56 persen. Kebijakan pembatasan sosial, lanjutnya, makin menekan tingkat okupansi tersebut.

“Anda bayangkan tadinya okupansinya 70 persen sekarang 20 persen, berat sekali sudah pasti rugi sekali,” ujarnya dalam diskusi Industri Hotel dan Restoran Bangkit di 2021, Minggu (17/1).

Jika kondisi tersebut terus berlanjut, ia memperkirakan banyak pengusaha hotel dan restoran yang tidak bertahan sehingga terpaksa tutup secara permanen. Namun, ia tidak bisa memberikan estimasi berapa lama rata-rata daya tahan hotel dan restoran tersebut karena bergantung dari kapasitas masing-masing hotel dan restoran.

“Sampai kapan bertahan saya tidak tahu, tapi kondisi 2-3 bulan ke depan kalau tidak ada perbaikan akan semakin sulit,” ucapnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah pusat dan daerah membantu sektor ini. Pasalnya, hotel dan restoran merupakan sektor yang paling parah terdampak pandemi serta paling awal terkena imbas, tapi justru diprediksi paling akhir mengalami pemulihan.

“Kami rekomendasikan agar pemerintah membuat program khusus agar turis baik asing maupun domestik bertahan beberapa hari di Jakarta, sehingga mereka menginap di hotel kami, makan di restoran kami, dan mengunjungi berbagai objek wisata,” jelasnya.

Selain itu, mereka meminta pemerintah meringankan beban-beban pajak dan biaya lainnya. Meliputi, pajak korporasi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak reklame, pajak air tanah, biaya listrik, pungutan tenaga kerja, dan pungutan-pungutan lain agar diringankan.

“Yang dirasa selama ini memberatkan kami juga pajak hotel dan warung kecil itu tetap berlaku. Selama ini dikenakan pajak final Rp4,8 miliar (batasan yang dikenakan pajak final). Kelihatannya ini mau diturunkan jadi Rp2 miliar, kalau diturunkan menjadi Rp2 miliar saya kira akan timbulkan persoalan serius ke depan. Oleh karena itu kami usulkan ditingkatkan paling tidak menjadi Rp7,5 miliar, itu yang dikenakan pajak final bagi hotel non bintang dan restoran kecil,” paparnya.

Ia mencatat, DKI Jakarta memiliki sekitar 991 hotel hingga 2019 lalu. Jumlah tersebut terdiri dari 397 hotel bintang dan 594 hotel non bintang. Sementara itu, jumlah restoran jauh lebih banyak diperkirakan mencapai belasan bahkan puluhan ribu unit restoran.

(IN)